BERITA iNEWS, HESSEN – Pehimpunan Pelajar Indonesia di Jerman atau Die Vereinigung Indonesischer Studenten menggelar 2 hari Latihan Dasar Kepemimpinan atau LDK di Ferien Dorf, Herbstein di Negara Bagian Hessen, Jerman pada Sabtu-Minggu (13-14/05). “LDK tahun ini merupakan kegiatan yang kedua kali, pasca pertama dilaksanakan pada Mei 2022 lalu, diikuti 80 peserta baik mahasiswa, student college juga dari ausbildung se-Jerman,” kata Dimas Fakhri Arsaputra, Ketua PPI Jerman saat ini.
Panitia penyelenggara kegiatan telah mempersiapkan beragam topik pembahasan dan nara sumber yang adaptif untuk setiap topik, sehingga seluruh peserta dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dari orang-orang yang berkualitas. “Untuk workshop Sabtu sore, telah disiapkan topik tentang Kepemimpinan, Diplomasi, dan Keterampilan Negosiasi yang langsung diisi oleh Konjen Frankfurt dan Atase Kepolisian KBRI Berlin,” terang Dimi, panggilan akrab Dimas Fakhri Arsaputra.
Mengawali materi sore, Konjen RI di Frankfurt, Acep Somantri menekankan tentang pentingnya peserta LDK untuk memiliki dan melatih keterampilan bernegosiasi dalam menjalani kegiatannya sebagai mahasiswa di Jerman. “Negosiator unggul itu ada bukan karena dilahirkan namun karena dilatih sehingga dapat memiliki karakter yang kreatif, empatik dan selalu berorientasi membangun hubungan yang baik dengan berbagai pihak,” kata Acep.
Peserta LDK tentu saja berhadapan dengan beragam konflik dalam aktivitasnya sehari-hari, tidak saja di tempat kuliah juga di tempat kerja sehingga tentu saja teknik-teknik dasar bernegosiasi penting untuk dimiliki oleh tiap peserta. “Hindari sikap arogan, menghina lawan, menggunakan kekerasan, show off pribadi atau bahkan marah, karena pasti hal tersebut akan merugikan diri sendiri dalam bernegosiasi,” tegas Acep.
Acep kemudian berbagi pengalaman tentang bagaimana diplomasi kesehatan dapat dijalankannya ketika menjabat sebagai Kepala Biro Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kesehatan pada periode 2017-2020 lalu. “Kompetisi dengan banyak negara untuk mendapatkan akses dan distribusi vaksin ketika awal pandemik Covid-19 menjadi pertaruhan negosiasi dan diplomasi kesehatan yang besar bagi Indonesia untuk bisa mengatasi krisis kesehatan dunia tersebut, dan hasilnya Indonesia bisa mendapatkan vaksin secara berkelanjutan sehingga dapat mencapai kekebalan komunal,” kata Acep. Dalam mempersiapkan diri untuk bernegosiasi, Acep bahkan harus belajar mendalam tentang hal-hal teknis berkaitan vaksin dan kesehatan global yang memang bukan menjadi disiplin ilmunya sejak awal berkarir di Kementerian Luar Negeri 25 tahun yang silam.
Materi tentang kepemimpinan diisi oleh Atase Kepolisian Kombes Pol. Shinto Silitonga dengan memberikan pemahaman pada filosofi kepemimpinan nasional dari Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia dengan Tut Wuri Handayani, Ing Madyo Mangun Karso dan Ing Ngarso Sung Tuludo. “Seorang pemimpin harus menjadi contoh bagi anggotanya, dapat menjadi mitra yang egaliter dan memotivasi dari belakang untuk kemajuan bersama,” kata Shinto. Kepemimpinan, menurut Shinto harus dilatih mulai dari memimpin diri sendiri, apalagi sesuai data dari DAAD, tiap tahun ada lebih dari 40% mahasiswa asing yang alami kegagalan dalam menuntaskan pendidikannya di Jerman akibat shock culture. “Kuliah dan bekerja di Jerman tentu menjadi added value dibanding mahasiswa dan pekerja lain, sehingga latihan memimpin diri sendiri menjadi modal kuat untuk berhasil tidak hanya dalam proses adaptasi namun juga dalam menghadapi pendidikan dan permasalahan dalam pekerjaan masing-masing,” tegas Shinto.
Seperti halnya Acep, Shinto juga berbagi pengalaman ketika memimpin hampir 1.000 polisi di Polres Gowa pada 2017 lalu yang hanya dalam 1 tahun persiapan, kemudian berhasil menjadi satu-satunya Polres di Polda Sulawesi Selatan yang mendapat predikat Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi (ZI-WBK) pada Desember 2018. “Pendekatan informal, belajar dengan pola simulasi, bangun team work yang solid, menjadi kunci keberhasilan dalam memainkan kepemimpinan di Gowa ketika itu,” jelas Shinto.
Pasca materi dari narasumber, peserta antusias untuk bertanya dan mendalami dengan studi kasus yang mereka hadapi. Panitia membatasi pertanyaan hanya pada 4 peserta mengingat padatnya rangkaian acara yang telah disusun. Pada bagian akhir, peserta mendapat Koja Baduy yang telah dipersiapkan nara sumber sebagai sarana sosialisasi dan promosi budaya Suku Baduy Banten bagi tiap peserta ketika beraktivitas di kampus, di tempat kerja dan dalam kegiatan sehari-harinya.