BeritaInews.com–Wakil Ketua MPR Arsul Sani meminta pemerintah agar membuka semua potensi, atau paling tidak mempertahankan, penerimaan negara dari sektor pajak. Salah satu potensi pajak yang perlu didalami lagi untuk digali adalah sektor sumber daya alam (SDA).
”Jadi bukan mengembangkan kebijakan untuk memungut pajak dari sektor konsumsi seperti pengenaan PPN untuk sembako,” ujar Asrul Sani dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema Pendapatan Negara dan Keadilan Sosial di Media Center MPR/DPR, Lobi Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/6).
Diskusi juga menghadirkan narasumber anggota MPR Fraksi Partai Gerindra Kamrussamad dan ekonom INDEF Enny Sri Hartati.
Menurut Asrul Sani, pemerintah seharusnya menjelaskan kepada publik bagaimana meningkatkan atau mempertahankan penerimaan negara dari pajak dan menggali sektor-sektor lain, diluar sektor ril atau yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak, untuk bisa dikenakan pajak.
Arsul Sani mengatakan, setiap isu yang berkaitan dengan bertambahnya beban kepada masyarakat seperti penetapan PPN untuk sembako, secara tidak langsung akan dihadapkan dengan sila kelima Pancasila (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) dan pasal 33 ayat 4 UUD NRI Tahun 1945.
”Kita harus lihat aspek keadilan sosial dalam mendapatkan sumber pendapatan negara. Sebab, pemerintah baru saja memberikan keringanan PPNBM terkait otomotif dan akan jadi kebijakan yang anomali kalau sekarang malah sembako dikenakan PPN,” ujar Asrul Sani.
Arsul menambahkan, sebelum menetapkan kebijakan seperti pengenaan PPN untuk sembako, sebaiknya perlu dikaji secara komprehensif dan memiliki logical step. Dia mencontohkan pemerintah pernah menetapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Namun publik tidak mendapatkan informasi dan penjelasan soal evaluasi dan keberhasilan kebijakan tax amnesty itu baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
”Sekarang mau diambil lagi kebijakan pengampunan pajak jilid kedua tanpa kejelasan target dan manfaat, serta apakah sudah meningkatkan tax ratio dari pengampunan pajak sebelumnya. Kebijakan ini tidak mengikuti logical step. Dan sekarang ingin mengenakan PPN untuk sembako. Ini yang perlu kita kritisi dari aspek keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegas Asrul Sani.
”Karena itu, banyak yang menolak kebijakan pengenaan PPN untuk sembako. Kenapa? Karena di tengah pandemi Covid-19 ini, kebijakan pengenaan pajak itu akan melemahkan daya beli masyarakat dan mengganggu roda perekonomian,” tambah dia.
Anggota MPR dari Fraksi Partai Gerindra Kamrussamad mengatakan, paradigma untuk menyusun dan menciptakan sumber-sumber penerimaan baru bagi negara harus berprinsip berkeadilan. Data terakhir penerimaan dari sektor pajak, ada tiga sektor yang relatif stabil dalam lima tahun terakhir, yaitu industri pengolahan, perdagangan, dan jasa keuangan.
”Penerimaan pajak dari industri pengolahan rata-rata tumbuh di atas 15 persen, kemudian perdagangan di atas 20 persen, dan jasa keuangan tumbuh di atas 10 persen. Dari data itu, dan pengalaman dalam realisasi penerimaan pajak dari tiga sektor itu, sektor yang perlu ditingkatkan adalah penerimaan pajak dari sektor jasa keuangan,” kata Kamrussamad, anggota Komisi IX yang membidangi masalah keuangan itu.
Sementara itu, ekonom INDEF Enny Sri Hartati menyebutkan, klausul tentang wacana pengenaan PPN untuk sembako dalam draf RUU KUP akan menimbulkan resistensi publik. ”Pelebaran ke PPN untuk sembako, apalagi jasa pendidikan, pasti akan menguras emosi publik. Kebijakan itu akan menimbulkan resistensi,” ujar Enny.
Enny melihat munculnya wacana pengenaan PPN untuk sembako menunjukkan tidak ada lagi kreativitas dari pemerintah untuk menggali penerimaan negara. ”Terjadi kebangkrutan inisiatif, inovasi, dan kreativitas dari pemerintah. Mungkin ini disebabkan adanya diskresi pemerintah pada masa pandemi ini (diskresi UU No. 1 Tahun 2020),” kata Enny.